Akang Jabrik


ISLAM DAN PERDAMAIAN


ISLAM DAN PERDAMAIAN
(Melacak Akar-Akar Kekerasan dalam Agama)

Penulis sempat kaget, ketika Amiruddin mantan ketua Fismaba Mesir memperlihatkan sebuah sms dari Indonesia yang isinya meminta beberapa alumni MMA untuk mengisi beberapa kolom sebuah majalah sekolah termasuk penulis sendiri. Sempat menolak juga ketika “dipaksakan” dengan judul Islam dan perdamaian melacak akar-akar kekerasan dalam agama, pula dengan batas minimal 5 halaman folio, wow ! Sedemikian rumitkah agama (dalam hal ini Islam tentunya) dalam pandangan “teman-teman kecil” penulis ? atau dogma-dogma agama yang semakin tidak relevan seiring dengan berkembangnya era komputerisasi ini ?

Memang tidak ada agama dimanapun didunia ini yang mengajarkan pengikutnya kekerasan. Tidak kristen, Islam, konghucu atau agama yang lain. Walaupun dalam beberapa muqarrar materi kuliah studi perbandingan agama universitas Al-Azhar, penulis pernah menemukan bentuk pelegalan kekerasan dengan mengatasnamakan agama, bahkan atas perintah agama. Sebenarnya kalau kita melihat lebih obyektif lagi pada prinsipnya tidak ada satupun agama yang menganjurkan umatnya untuk bersikap kasar apalagi melakukan kekerasan, tapi ketika kita seringkali melihat tayangan berita baik media cetak maupun televisi, hampir di penghujung awal abad 21 ini kita disuguhi dengan kisah-kisah nyata kekerasan bahkan kriminalitas berkelas internasional bermotifkan agama. Masih terekam jelas dibenak kita peristiwa 9/11, bom Bali, bom Kuningan, atau bentuk-bentuk “kriminalitasi jihad” berskala besar lainnya. Hal ini bukan berarti penulis terjebak dalam stigma atau bahkan stereotif barat (Baca : Amerika dan sekutunya) tentang terorisme Islam yang semakin populer melalui propaganda para “polisi dunia” tersebut. Akan tetapi lebih didasari atas keprihatinan penulis terhadap pola pikir oknum-oknum atau segelintir elit agama yang kurang bisa memahami teks-teks agama secara substansial dan proporsional bahkan terkesan salah total. Belakangan, kekerasan atas nama Islam, yang dilakukan beberapa kelompok di Indonesia, kembali menguat. Penyerangan terhadap keyakinan lain, mulai dari intimidasi, penyerbuan, hingga genderang perang suci, ditabuh keras. Lalu, apa yang menjadi akar kekerasan atas nama agama (Baca: Islam) terjadi ?

Berbicara kekerasan atau bahkan akar-akar kekerasan dalam Islam tidak bisa terlepas dari konsep ajaran Islam itu sendiri sebagai rahmat bagi seluruh alam (termasuk penghuninya tentunya). Karena Islam sendiri bermakna damai, tunduk, patuh dan pasrah yang berasal dari kata aslama-yuslimu islâman. Dalam ritual salat pun, yang merupakan kewajiban utama dalam Islam,ikrar terakhir yang diucapkan adalah memberikan keselamatan dan kedamaian bagi sesama umat manusia. Sebuah simbol bahwa muara akhir dari ajaran ini adalah perdamaian. Bahkan dalam sebuah perselisihan biasa, orang Islam bahkan dilarang mengawetkan konflik melebihi batas tiga hari. Ketika terjadi konflik, maka jalan islah atau perdamaian menjadi pilihan utama. Lebih-lebih untuk suatu pertengkaran yang disertai kekerasan. Islam sungguh tidak membenarkannya. Membunuh satu orang sama dengan membunuh banyak orang. Menyelamatkan satu nyawa sama dengan membebaskan banyak umat manusia. Itulah ruh Islam sebagai agama perdamaian. Agama anti kekerasan.

Selain itu, sejarah tentang perdamaian adalah sejarah yang cukup panjang. Sebab dalam sejarah kekuasaan Islam, utamanya pada zaman dinasti Umayyah dan Abbasiyah, banyak ditemukan sejumlah orang-orang Yahudi dan Kristen yang menjadi bendahara, sekretaris, penterjemah, pengajar, team dokter, bahkan penasehat raja. Ini tidak lain disemangati, bahwa dalam sistem kekuasaan sekalipun perdamaian harus diutamakan, karena hampir tidak mungkin membangun tatanan masyarakat yang maju, adil dan sejahtera tanpa basis perdamaian yang kuat.

Akan tetapi sejarah tentang kekerasan dalam Islam adalah sejarah hitam yang tidak boleh dipandang sebelah mata lagi terutama oleh umat Islam sendiri. Karena menurut hemat penulis hanya lewat studi kritis terhadap teks serta telaah obyektif terhadap târikh, kita bisa menemukan bahwa benih-benih kekerasan itu mulai muncul semenjak wafatnya rasul Muhammad saw, umat Islam ketika itu ibarat ayam kehilangan induknya, pertentangan dan perpecahan terjadi disana-sini sampai akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Akan tetapi selang beberapa lama Abu Bakar terpilih menjadi khalifah, beliau membuat keputusan memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat kepada pemerintahan ketika itu, tentunya Abu Bakar terlebih dahulu memvonis mereka dengan label murtad sehingga wajib diperangi, sebenarnya pada awalnya banyak diantara sahabat yang menolak putusan itu. Bahkan Umar berpendapat bahwa dakwaan murtad sebenarnya tidak tepat bagi orang Islam yang masih salat dan bersyahadat. Namun Abu Bakar tetap bersikeras, otoritas seorang khalifah tidak bisa diganggu gugat disamping demi persatuan Islam tentunya. Penulis teringat analisa Muhammad Imarah dalam bukunya, Al-Islam wal Hurûb al-Dîniyah, ia menorehkan catatan kritis terhadap sejarah "perang terhadap orang murtad" (harb al-murtaddîn) itu. Label "murtad" bukan dalam ranah teologis--dalam arti, keluar dari agama--tapi dalam ranah politis. Kelompok itu bukan tidak mau membayar zakat, tapi tidak mau menyerahkan zakat kepada pemerintah pusat yang dipimpin Abu Bakar setelah Rasulullah mangkat. Mereka merupakan kelompok pembangkang (al-bughât) dan menolak kepemimpinan Abu Bakar. Pemikir politik Islam asal Maroko, Muhammad Abid Jabiri, memberikan kesan yang sama. Perang itu bertujuan menjaga formasi kedaulatan Islam yang masih dini.

Sejarah Islam kembali ternoda lagi lewat peristiwa menyedihkan pembunuhan sesama muslim, peristiwa pembunuhan Khalifah terpilih Usman bin Affan. Dalam sejarah klasik kita bisa membaca bahwa faktor utama terjadinya pembunuhan itu tidak lain adalah kecemburuan sosial atas kepemimpinan nepotisme yang dianut Usman. Ia terlalu banyak mengangkat keluarganya menjadi pejabat pemerintah. Posisi-posisi penting diserahkannya pada keluarga Umayah. Yang paling kontroversial adalah pengangkatan Marwan bin Hakam sebagai sekretaris negara. Banyak yang curiga, Marwan-lah yang sebenarnya memegang kendali kekuasaan di masa Ustman. Hal ini patut disadari karena ketika terpilih Usman sudah terbilang cukup tua, 70 tahun.
Di masa itu, posisi Muawiyah bin Abu Sofyan mulai menjulang menyingkirkan nama besar seperti Khalid bin Walid. Amr bin Ash yang sukses menjadi Gubernur Mesir, diberhentikan diganti dengan Abdullah bin Abu Sarah -keluarga yang paling aktif berkampanye untuk Ustman dulu. Usman minta bantuan Amr kembali begitu Abdullah menghadapi kesulitan. Setelah itu, ia mencopot lagi Amr dan memberikan kembali kursi pada Abdullah. Ketidakpuasan menjalar ke seluruh masyarakat. Beberapa tokoh mendesak Ustman untuk mundur. Namun Ustman menolak. Ali mengingatkan Ustman untuk kembali ke garis Abu Bakar dan Umar. Ustman merasa tidak ada yang keliru dalam langkahnya. Malah Marwan berdiri dan berseru siap mempertahankan kekhalifahan itu dengan pedang. Situasai tambah panas. Sampai akhirnya beberapa rombongan dari Mesir, Kufah dan Basrah mengepung rumah Usman sehingga terjadilah peristiwa pembantaian sesama muslim yang mencoreng sejarah itu.
Dalam sejarah klasik disebutkan seorang bernama Al Ghafiki menghantamkan besi ke kepala Ustman, sebelum Sudan bin Hamran menusukkan pedang. Pada tanggal 8 Zulhijah 35 Hijriah, dalam usia 82 tahun Ustman menghembuskan nafas terakhirnya sambil memeluk Quran yang dibacanya. Sejak itu, kekuasaan Islam semakin sering diwarnai oleh tetesan darah.

Sejarah kembali mencatat beberapa peristiwa penting pembunuhan besar-besaran sesama muslim pasca pembunuhan Usman. Dimulai dari konflik Ali versus Muawiyah yang akhirnya juga ikut menyeret Ummul Mukminin Aisyah juga sahabat Thalhah bin Ubaidillah serta Zubair bin Awwam. Dalam perang Jamal, kubu Ali berhasil mendapatkan kemenangan. Aisyah sendiri tertawan setelah tandu untanya dipenuhi anak panah. Sedangkan sahabat Zubair tewas sementara Thalhah terluka parah. 10 ribu orang tewas dalam perang sesama muslim ini. Kemudian disusul dengan perang Shiffin, perang dihulu sungai Eufrat diperbatasan antara Irak-Syiria. Puluhan ribu Muslim mati dalam perang ini. Dimulai dari perang inilah ¬¬(yang kemudian para ulama menamakan peristiwa ini al-fitnah al-kubro) terjadi puncak perpecahan dan kekerasan dalam sejarah Islam. Munculnya aliran Syiah (kubu Ali) dan Khawarij yang akhirnya memvonis halal darahnya orang-orang yang menerima tahkim termasuk Ali (yang kemudian tewas terbunuh oleh Abdurrahman bin Muljam), Muawiyah, serta Amru bin Ash. Kemudian pembunuhan serta penghinaan terhadap semua keturunan Ali oleh daulah bani Umayyah ketika itu, sampai akhirnya dari situlah kekerasan demi kekerasan menghiasi wajah Islam, perpecahan demi perpecahan terjadi, firqoh-firqoh bermunculan serta tentunya dengan klaim sesat satu sama lainnya bahkan saling klaim murtad atau kafir, bahkan saling serang.

Inilah yang penulis anggap bahwa perlunya telaah obyektif terhadap sejarah serta studi kritis teks-teks agama. Dari sini kita bisa melacak dimana sebenarnya faktor-faktor atau akar-akar yang menyebabkan kekerasan atas nama agama itu terjadi. Karena sebagaimana yang penulis sebutkan diawal bahwa tidak ada satupun agama yang mengajarkan umatnya kekerasan. Semuanya hanya bermula dari kepentingan, baik kepentingan teologis, politik, kelompok, pribadi, dan lain sebagainya. Atau dengan bahasa singkat, kepentingan segelintir okum-oknum agamis. Lantas bagaimana dengan studi kritis terhadap teks ?

Ada analisa menarik yang disampaikan Nasr Abu Zayd, pemikir muslim asal Mesir yang baru saja mendapatkan penghargaan Averroes, tahun 2005, Ia menuturkan bahwa problem utama dalam kekerasan atas nama agama adalah interpretasi. Pada umumnya, umat agama-agama adalah korban dari penafsiran atas teks. Yang mempengaruhi kesadaran keberagamaan pada umumnya adalah kesadaran yang terpaku dan terbatas pada teks tertentu, serta mengabaikan teks-teks yang lain. Pada akhirnya, penafsiran yang lahir adalah penafsiran yang mengalami kemandulan intertekstualitas. Artinya, teks tidak bisa menegosiasikan dan dinegosiasikan dengan teks-teks yang lain. Yang benar hanya teks ini, selain itu tidak ada kebenaran. Teks ini harus diterapkan, bila tidak agama tidak akan tegak. Begitulah kesadaran teologis yang menyebabkan lahirnya kekerasan dengan mengatasnamakan teks. Mereka masih menganggap bahwa teks adalah produk langit yang tidak boleh dikotori dengan pemikiran-pemikiran nakal, semuanya harus kembali kepada teks tanpa ada usaha untuk memaknai kembali (interepretasi) makna-makna yang terkandung serta usaha untuk menegosiasikan teks dengan teks yang lain. Akibatnya agama terkesan kaku bahkan dalam satu sisi terlihat ekstrim.

Sudah terlalu sering kita mendengar fatwa-fatwa beraroma kekerasan sesama muslim, label halal darahnya seseorang atau para penganut aliran tertentu adalah yang paling sering menggema dalam dunia Islam, Indonesia juga tentunya. Secara sewenang-wenang, mereka menggunakan sebaris hadis, "man baddala dînahu faqtulûhu" ("barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia"). "Mengganti agama" dimaknai murtad, kafir, atau sesat. Fatwa tersebut seperti vonis dalam pengadilan in absentia, tanpa klarifikasi dan pembelaan, dengan dakwaan sepihak. Meskipun demikian, umat Islam yang awam tidak mau tahu dengan prosedur yang tidak sehat itu; yang ditangkap hanya ujungnya: orang ini murtad, kelompok itu sesat, maka dibunuh saja! Sejarah mencatat ancaman-ancaman pembunuhan yang ditujukan kepada orang-orang yang dianggap nyeleneh secara pemikiran : Ibnu Araby, Ibnu Rusyd, Syaikh Muhammad Ad-Dzahabi (ulama Azhar yang mumpuni yang akhirnya tewas dibunuh oleh jamaah Takfîr wal jihad setelah divonis murtad secara sepihak), Farag fauda (tewas tertembak didepan rumahnya), Nasr Hamid Abu Zayd (yang akhirnya diminta kembali dari pengungsiannya di Leiden oleh Syaikh Azhar sekarang, As-Syeikh Prof. Dr. Sayyid Muhammad At-Thantawi untuk kembali mengajar di almamaternya), Farid Masdar (sempat diancam akan ditangkap dan dibunuh ketika berkunjung ke Mesir dalam rangka sebuah lokakarya), atau bahkan Ulil Abshar Abdalla yang sempat divonis halal darahnya oleh kelompok tertentu di Bandung.
Penggunaan idiom-idiom teologis pada fatwa--yang pada hakikatnya adalah "opini legal manusia"--mampu meniupkan roh kekuatan dan kebanggaan bagi siapa saja yang bersedia "mengorbankan dirinya" untuk menjalankan "misi suci" itu. Imam Samudra, terpidana kasus bom Bali, tersenyum lebar, tidak merasa bersalah atau berdosa, bahkan bangga, setelah membunuh ratusan orang sipil di Bali, yang diyakini sebagai jihad. Bahkan hukuman mati yang dijatuhkannya dianggap sebagai jalan tercepat menuju surga tanpa hisab.
Dari semua yang telah penulis kemukakan diatas tentang telaah obyektif pelaku-pelaku sejarah (tarikh) serta studi kritis terhadap teks-teks agama dapat menjelaskan dengan sangat sederhana, tapi penting, bahwa masalah dan jalan keluar dari maraknya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama belakangan ini harus dimulai dari para elit agama itu sendiri seperti: juru ceramah, da'i, kiai, ulama dan pimpinan umat. Sebab dalam struktur masyarakat dalam dua katagori, ada yang "dita'ati" dan "mena'ati", maka sistem yang berlaku adalah top down. Di sini, komitmen para ulama untuk menggali nilai perdamaian harus diletakkan pada urutan pertama. Karena kalau kita mencoba untuk merunut, bahwa yang disebut "teks agama" pada akhirnya adalah ulama. Mereka yang memonopoli tafsir keagamaan, bahkan hanya satu-satunya tafsir alternatif.
Kita semua menyadari, bahwa reformasi agama sesungguhnya adalah reformasi para pemimpinnya: reformasi ulama. Pengalaman reformasi di Mesir relatif berhasil dan sukses, karena Syaikh Muhammad Abduh sebagai ulama dan tokoh agama mampu melahirkan pemikiran-pemikiran progresif. Karenanya, hingga sekarang di lingkungan al-Azhar, dalam setiap zaman selalu muncul para reformis, yang selalu mengedepankan wawasan keagamaan yang damai dan mendamaikan.
Mudah-mudahan hari esok akan senantiasa cerah, secerah agama yang mengajarkan kita akan pentingnya perdamaian. ‘Alâ bi dzikrillâh tathmainnall qulub. Wallâhu A’lam !

Rab’ah El-‘Adaweya, 12 Rabiul Awwal 1427 H






Web This Blog
www.flickr.com
bang_arbi's photos More of bang_arbi's photos


© 2007 Akang Jabrik | Template by Blogger Templates.

Blog ini dilindungi oleh hak cipta dan privasi namun diperbolehkan kepada siapa pun untuk membaca dan mengcopy