Akang Jabrik


Ayo Sekolah



“Bang, tahdid udah turun belom ?" suara ramah diujung telpon menyadarkan saya dari mimpi indah sore itu. “Hah ! hari gini nanya tahdid ?!” canda saya sambil berusaha meraih selembar kertas kecil yang terselip dibawah muqarrar yang baru saja saya beli tadi siang, diawali berbasa-basi sedikit menanyakan seputar hasil pertandingan liga champion kemarin dan mengalirlah perbincangan seputar transaksi legal tukar-menukar tahdid.

Ilustrasi singkat diatas sedikit menggambarkan mainstream ritual mahasiswa kita (baca: al-Azhar) menjelang masa-masa ujian yang begitu menjenuhkan. Memborong diktat kuliah, bimbingan kesana-kemari, berangkat kuliah pagi pulang sore, khataman muqarrar dan juga aktifitas rutin seperti memburu tahdid diatas. Ada semacam tradisi yang sering dialih bahasakan dengan back to campus, ayo sekolah, study oriented dan lain sebagainya. Terlepas dari slogan manakah yang lebih tepat untuk mendefinisikan ritual intelektual kita, target duta besar yang baru dengan tingkat kelulusan 90 % dan pencapaian predikat mumtaz yang diharapkan mencapai angka 30 % seharusnya membuat ghirah studi kita lebih terpacu dan berusaha menjadi yang terbaik setidaknya untuk diri kita sendiri. Walaupun kedengarannya target ini seperti mimpi di siang bolong dan amat utopis, tapi setidaknya kesadaran dan mentalitas be the best dalam diri mahasiwa berperan aktif untuk meraihnya.

Sistem pembelajaran dan kurikulum yang dipakai al-Azhar yang lebih mengedepankan pentingnya sebuah naskah dan diktat untuk dihafal dan tidak mewajibkan mahasiswa untuk hadir dalam setiap hari aktif membuat mahasiswa malas seperti saya dan mungkin juga anda semakin terlena. Prosentase wajib hadir mahasiswa yang hanya 0 % membuat kita seringkali menunda dan selalu menunda untuk menjadi mahasiswa baik. Berangkat kuliah tiap pagi dengan membawa diktat yang sesuai jadwal, mengikuti muhadharah sampai selesai, khataman muqarrar jauh-jauh hari menjelang ujian, membuat berlembar-lembar ikhtishar dan memberi informasi tahdid, bukan malah mencari-cari dengan telpon sana telpon sini dan sederet atribut asli seorang azharî adalah sebuah impian bagi mahasiswa istimârah i seperti saya yang hanya menyempatkan datang ke kampus untuk urusan administrasi semata, datang cuma ingin mengurus istimârah tapi bukan dan tidak untuk mengikuti muhadharah.

Sistem pembelajaran dan kurikulum yang dipakai al-Azhar yang lebih mengedepankan pentingnya sebuah naskah dan diktat untuk dihafal dan tidak mewajibkan mahasiswa untuk hadir dalam setiap hari aktif membuat mahasiswa malas seperti saya dan mungkin juga anda semakin terlena.


Sejenak saja kita pusatkan perhatian ke deretan angka-angka yang tercantum di penanggalan masehi, terhitung dari sekarang kita akan menghadapi masa-masa perjuangan dan jihad fi dirasah ‘ilmillah tidak kurang dari satu bulan. Dalam Shoutul al-Azhar edisi 2 minggu yang lalu, ujian al-Azhar diperkirakan jatuh pada tanggal 5 Januari. Satu bulan bukanlah waktu yang lama untuk mempersiapkan ujian apalagi hanya untuk sekedar bersantai. Kalau boleh sedikit berspekulasi ala akuntan, kalau dalam term kali ini kita dibebani dengan tujuh diktat yang rata-rata memiliki tebal sampai 250 halaman, itu artinya dalam satu bulan kita harus membaca 1750 halaman. Bagi orang-orang yang bisa membaca dan memahami teks diktat secara lugas dan cepat mungkin lima belas hari adalah waktu yang cukup standar untuk melahap semua isi diktat. Dan sekali lagi, waktu selama lima belas hari itu baru kita pergunakan hanya untuk membaca, masih ada deretan rutinitas lain seperti meringkas, menghafal, ataupun mencari bacaan dari referensi lain yang harus kita selesaikan minimal seminggu sebelum ujian. Ala teori hal ini mudah dilakukan, bahkan akan lebih mudah dan perfect kalau kita mulai dua bulan ataupun satu setengah bulan menjelang ujian. Akan tetapi secara aplikatif mungkin kita bisa melihat potret diri masing-masing. Dan sistem kebut seminggu yang terkadang seringkali dijadikan senjata andalan sebagian mahasiswa bukanlah jawaban yang tepat untuk masalah ini ditinjau dari sisi manapun, knowledge oriented apalagi point oriented.

Ungkapan sekolah bisa dimana saja mungkin ada benarnya, tapi kita sebagai mahasiswa tampaknya seringkali merasa nyaman ali-alih terkecoh dengan hal-hal yang kurang prinsipil. Memang nilai bukanlah segalanya, predikat mumtaz, jayyid jiddan dan lain sebagainya hanyalah pemanis dan penyemangat kita untuk selalu berusaha yang terbaik. Tapi ada satu point penting yang perlu kita garis bawahi bahwa segalanya seringkali bermula dari sebuah nilai. Karena nilai itu adalah emanasi dari sebuah kata bernama kualitas, dan kualitas adalah hal yang qath’i dalam sebuah proses mencapai kesuksesan. Maka sebelum nasi menjadi bubur ada baiknya kita menapaki ritual intelektual kita kembali, raih kepercayaan dan sadar diri juga berusaha meraih sebuah prestasi, tentu tidak nyaman bukan kalau harus mengulang dalam kelas yang sama ?!




0 Responses to “Ayo Sekolah”

Post a Comment


Web This Blog
www.flickr.com
bang_arbi's photos More of bang_arbi's photos


© 2007 Akang Jabrik | Template by Blogger Templates.

Blog ini dilindungi oleh hak cipta dan privasi namun diperbolehkan kepada siapa pun untuk membaca dan mengcopy