Akang Jabrik


Menapak Jejak mengenal watak




Metodologi Penafsiran al-Qur’an
( Sebuah Pengantar )


Iftitah
Wahyu dalam Islam menjadi pembahasan utama dalam memahami maksud-maksud Tuhan. Tidak lain karena wahyu merupakan satu-satunya legal medium antara Tuhan dan sang utusan dalam proses penyampaian risalah dan kandungan wahyu yang dikehendaki-Nya kepada seluruh umat manusia. Wahyu sering disebut juga sebagai firman Tuhan. Kitab-kitab yang diturunkan kepada para rasul seperti Taurat, Zabur, Injil dan al-Qur’an ataupun kitab-kitab shuhuf lainnya adalah wahyu dari Allah, disebut wahyu karena kandungan ataupun substansinya adalah murni turun dari Allah Swt. Dengan bahasa singkat, bahwa Allah adalah sang pemberi wahyu dan para utusan-Nya adalah para penerima wahyu yang mempunyai konsekuensi logis untuk menyebarkan ajaran yang dikehendaki-Nya.

Wahyu adalah wujud interaksi antara sang pencipta dan utusan-Nya; pemberi dan penerima. Wahyu terdiri dari dua macam. Tertulis dan tidak tertulis. Wahyu tak tertulis adalah wahyu-wahyu yang diberikan kepada para nabi-nabi yang tidak diperintahkan untuk menyebarkan ajarannya. Sedang wahyu tertulis adalah kitab atau shuhuf yang diturunkan kepada para rasul yang ditugaskan untuk mengajarkan dan menyebarkan kepada seluruh umatnya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya.

Yang menjadi titik permasalahan disini adalah perbedaan keterikatan antara wahyu yang tak tertulis dan tertulis. Wahyu tak tertulis adalah merupakan wahyu yang bersifat pribadi, wahyu yang khusus ditujukan kepada sang penerima saja. Entah itu berhubungan dengan pola kehidupan sehari-hari sang penerima ataupun hal-hal lain yang tidak diketahuinya. Wahyu seperti inilah yang tidak memerlukan adanya proses tafsir dan takwil yang panjang, karena sekali lagi hanya cukup berhubungan antara sang Pemberi dan penerima. Berbeda kasusnya dengan wahyu tertulis. Wahyu yang berupa kitab atau lampiran-lampiran (shuhuf) yang pada umumnya ditujukan kepada manusia secara umum dengan berbagai kondisi dan pola pikir yang berbeda. Sehingga sangat mungkin bahkan menjadi sebuah keharusan akan munculnya berbagai macam penafsiran yang beragam. Dalam beberapa kitab tafsir bahkan sering kita temukan diskusi-diskusi ataupun perdebatan kecil diantara para sahabat tentang makna kata tertentu dalam al-Qur’an. Konklusinya, di zaman sahabat saja yang notabene masih hidup berdampingan dengan Rasulullah sudah muncul perbedaan dalam memahami kata-kata di dalam al-Qur’an apalagi kita yang hidup 13 abad setelah rasul Muhammad menerima wahyu untuk yang pertama kali. Satu jawaban singkat dan logis dari penafsiran yang beragam ini adalah ketidaksamaan kemampuan manusia dalam memahami substansi wahyu. Dalam hadist disebutkan bahwa, “kami para nabi diperintah untuk berkata kepada manusia (menyebarkan ajaran-Nya) sesuai dengan tingkatan kemampuan berpikirnya”. Maka, al-Qur’an sebagai satu-satunya kitab suci yang terakhir yang ditujukan kepada seluruh umat manusia dan segala era harus rela untuk menerima segala penafsiran dan pentakwilan yang beragam dari berbagai manusia dengan berbagai macam tipologi pemikirannya. Karena nash al-Qur’an yang cukup singkat dan terbatas harus selalu digali makna dan kandungannya untuk menjawab segala problematika kemanusiaan dan tantangan globalisasi zaman.



Definisi Etimologis Tafsir dan Takwil

Dalam proses memahami makna dalam al-Qur’an kita mengenal dua istilah penting, tafsir dan takwil. Hampir di semua buku tentang kodifikasi tafsir, penulis menemukan keseragaman akan keterikatan antara tafsir dan takwil. Membahas tafsir ataupun metode dalam penafsiran maka serta merta akan membahas tafsir dan takwil itu sendiri. Karena memang dua hal ini adalah pintu awal menuju penafsiran makna teks al-Qur’an.

“Makna” dari sebuah ungkapan ataupun perkataan adalah tujuan atau maksudnya. Sedang makna tafsir sendiri kembali pada arti menjelaskan dan menyingkap. Asal kata tafsir dalam bahasa Arab kembali kepada dua kata yaitu fa-sa-ra dan sa-fa-ra. Jika dilihat dari kata fa-sa-ra, maka tafsirah berarti sepercik air seni yang diamati dan diteliti oleh seorang dokter. Karena dengan mengamati dan meneliti kandungan zat yang berada pada air seni itu dapat menyingkap sebab “illah” sakit orang tersebut. Dengan demikian makna kata tafsir berdasarkan asal kata fa-sa-ra adalah kasyf (menyingkap) asal illat (penyebab) penyakit yang dalam kaitan masalah ini memerlukan obyek dan analisa yang tepat. Maka, tidak setiap orang bisa melakukan tugas tersebut. Karena orang yang dapat melakukan tafsir hanyalah dokter ataupun orang yang memiliki keahlian dalam mendiagnosa penyakit. Logisnya, seorang mufassir al-Quran adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk menyingkap makna ayat yang terkandung didalamnya. Jika dilihat dari asal kata sa-fa-ra, maka tafsir juga berarti penyingkapan. Dikatakan asfarat al-mar’ah sufûran, jika dia menyingkap kerudungnya dari wajahnya. Atau berarti kejelasan atau bercahaya. Dikatakan asfara as- subh idzâ adhâa, jika matahari bersinar. Berdasarkan dua makna asal kata tafsir diatas, dapat disimpulkan dengan mudah bahwa makna tafsir adalah penyingkapan makna (kasyf). Dan di dalam al-Qur’an kata tafsir digunakan dengan menunjukkan arti “al-bayân” atau penjelasan, sebagaimana firman Allah Swt. “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.”

Jika kata tafsir disebut sekali dalam al-Qur’an, maka kata takwil disebut sebanyak 17 kali. Maka, secara otomatis kata takwil lebih sering dipakai dalam al-Qur’an daripada tafsir. Hal ini mungkin disebabkan karena kata takwil lebih akrab dikenal oleh kebudayaan sebelum islam yaitu yang berhubungan dengan tafsir mimpi atau disebut dengan ta’wîl al-ru’yah atau al-ahlâm. Jika kita telaah lebih teliti lagi kata ta’wîl dalam al-Qur’an seperti dalam ayat cerita nabi Yusuf, maka makna kata takwil lebih dekat dengan takwil mimpi. Tetapi dalam ayat lain disebutkan “Yusuf berkata: Tidak disampaikan kepada kamu berdua makanan yang diberikan kepadamu melainkan aku telah dapat menerangkan takwilnya (jenis makanan itu) sebelum itu sampai kepadamu.” Takwil disini mempunyai makna memberitahukan kejadian sebelum terjadi, Seperti kisah antara nabi Musa dan Khidir “Aku akan memberitahumu takwil (tujuan) perbuatan yang kamu tidak dapat bersabar terhadapnya” (QS. Al-Kahfi : 87).



Definisi Terminologis Tafsir dan Takwil

Jika kita telaah makna etimologis antara tafsir dan takwil, maka terkesan dipahami bahwa tafsir adalah penyingkapan makna melalui media atau perantara tertentu untuk sampai pada makna tertentu. Berbeda dengan takwil, karena takwil tidak selamanya harus melalui perantara tersebut. Bahwasanya ada perbedaan penting antara keduanya, yaitu bahwa tafsir selalu membutuhkan perantara penafsiran, yaitu media yang menjadi titik tolak seorang mufassir untuk sampai pada kejelasan makna yang diinginkan. Sementara takwil adalah proses yang tidak selamanya membutuhkan media ini, tapi kadang berlandaskan pada gerakan akal ijtihady semata dalam menyingkap asal fenomena. Dengan kata lain hubungan langsung yang mencerminkan antara subyek dan obyek.

Berdasarkan hal di atas, hampir sebagian besar ulama yang mendefinisikan tafsir sebagai ilmu tentang turunnya ayat, surat, kisah-kisah, dan isyarat-isyarat di dalamnya, kemudian tentang urutan makkiyah dan madaniyahnya, muhkam dan mutasyabbihnya, nasikh dan mansukhnya, ‘am dengan khosnya, mutlak dengan muqayyadnya sertas mujmal dengan mufasshalnya. Dan secara faktual, tafsir terlihat lebih dekat dengan aspek diluar nash yang berhubungan dengan asbâb al-nuzûl, nasikh-mansukh, makki-madani, ‘am-khos, mutlaq-muqayyad dan sederet perangkat lainnya. Cara mengetahui semua perangkat ilmu yang disebut diatas hanyalah dengan riwayah. Dalam tafsir, seorang mufassir tidak memiliki ruang ijtihad yang cukup luas dalam memahami maksud nash. Secara teoritis dan praktis, dia harus memahami nash berdasarkan perangkat tafsir; baik itu hadist, perkataan sahabat atau tabi’in yang dianggap dapat mempresentasikan makna kandungan nash. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah pintu menuju takwil.

Takwil menurut ulama ushul mempunyai definisi yang beragam. Meskipun berbeda dalam hal mendefinisikan takwil, tapi pada substansinya adalah sama. Ibnu Qudâmah berpendapat bahwa takwil adalah istilah dari kemungkinan yang diperkuat oleh dalil sehingga dengan itu menjadi sangat mungkin (aghlab al-dzan) dari makna yang ditunjukkan oleh dzahirnya. Atau bisa disebut serupa dengan pengalihan lafadz dari makna sebenarnya kepada makna metafora (majâz). Dapat diambil satu kesimpulan-berdasarkan pendapat ini- bahwa takwil dan majâz bertemu dalam satu titik persamaan, yaitu pengalihan makna lahiriyah ke “makna dalam” sesuai konteks.

Takwil dalam studi ilmu al-Qur’an juga memiliki banyak definisi terminologi yang beragam. Dalam satu pendapat disebutkan bahwa tafsir berdasarkan pada ilmu riwayah sedang takwil lebih terfokus pada ilmu dirayah. Takwil digunakan pada hal-hal yang bersifat ketuhanan, sementara tafsir pada selainnya. Tafsir lebih umum daripada takwil, sebab tafsir umumnya terpaku pada ‘kata” sementara takwil terfokus pada “makna.” Dari sekian pendapat ini, penulis lebih cenderung memilih kepada pendapat pertama yang mengatakan bahwa takwil adalah ilmu untuk menyingkap makna nash yang berdasarkan pada pengetahuan (dirâyah) penakwil. Takwil lebih berkaitan pada pengambilan kesimpulan, sedangkan tafsir lebih cenderung pada nash dan riwayat. Dalam perbedaan ini, terdapat dimensi pokok proses penakwilan, yaitu peranan mufassir dalam membaca teks dan menangkap maknanya. Tetapi, peranan penakwil dalam menghadapi teks bukanlah peran mutlak yang memungkinkannya dapat memaknai nash sesuai hawa nafsunya serta kecenderungan ideologis semata. Bahkan takwil harus berlandaskan pada beberapa studi pokok yang berhubungan dengan nash sebagaimana dalam tafsir.

Tafsir dan takwil adalah dua pintu dalam memahami makna dan kandungan al-Quran. Dua hal ini mempunyai karakteristik yang berbeda. Jika tafsir dalam makna bahasanya berarti menyingkap, maka tafsir adalah piranti dalam menyingkap makna al-Qur’an dengan melalui perangkat-perangkat lunak yang dibutuhkan. Sedangkan takwil menurut makna etimologinya bermakna mengembalikan. Maka secara singkat dapat kita pahami bahwa takwil adalah usaha untuk mengembalikan makna nash kepada makna aslinya. Takwil harus selaras dengan tafsir karena tafsir adalah pintu gerbang menuju takwil. Jika tafsir menyingkap makna luar nash, maka takwil berusaha menyingkap spirit di dalam nash.

Klasifikasi Tafsir; Studi Kritis Tafsir bi al –Ma’tsur

Semenjak Rasulullah Wafat, kajian tafsir cukup mendapat perhatian dan berkembang abad demi abad sebegitu pesat dalam tradisi keilmuan Islam. Kajian ini terkemas dan tertulis rapi dalam berbagai klasifiikasi ilmu dengan beragam corak penulisan, baik berupa syair, prosa, karya ilmiah berjilid-jilid maupun sekedar komentar-komentar kecil (Hâmisy) ataupun berupa Syarh karya-karya pemikir terdahulu. Konsekuensi logisnya, kajian dan karya-karya tafsir yang beragam itu bisa diklasifikasikan ke dalam beberapa pola dan sarat untuk dikritisi. Para ulama telah banyak yang mencoba mengklasifikasikan pola ataupun corak (meminjam istilah Quraish Shihab) penafsiran al-Qur’an dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Ada yang menyentuh pokok persoalan dan ada juga yang hanya bersinggungan dengan kulitnya saja.

Dilihat dari metode penafsiran dan coraknya, tafsir digolongkan menjadi dua, yaitu; pertama, tafsir bi al-ma’tsur dan kedua, tafsir bi al-ra’yi. Pertama, tafsir bi al-ma’tsur. Terma tafsir bi al-ma’tsur oleh para ulama dimaknai dengan tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Sunnah, Qaul Shahâbî, atau Qaul Tabi’î. Corak dan pola tafsir ini bisa dibilang murni periwayatan, walaupun dalam beberapa kitab tafsir sejenis, masih sering kita temukan pendapat-pendapat pribadi yang bersifat ideologis pribadi dan agak sedikit keluar dari terma yang diusung lewat kitab tafsir dengan corak periwayatan ini. Hal inilah yang kemudian banyak memunculkan anggapan dan ungkapan-ungkapan yang skeptis terhadapa tafsir jenis ini. persoalannya bermula dari ketidak konsistenan sang pengarang itu sendiri dalam mengawal terma bi al-ma’tsur.

Dr. Su’ud Badr dalam bukunya Tafsir al-Shahaabat menceritakan dengan singkat dan jelas tentang geneologi metode tafsir jenis ini. Bahwa corak periwayatan ini muncul dari kegelisahan para sahabat ketika sudah final tidak menemukan penjelasan Nabi saw, mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair arab. Bahkan setelah masa sahabat pun, para tabi’in dan tabi’it at-tabi’în masih mengandalkan metode periwayatan dan referensi kebahasaan seperti pada zaman sahabat.

Akan tetapi Dr. Jamal al-Banna dalam salah satu bukunya, mengkritisi dengan gamblang akan kelemahan metode riwayat ini. Beliau menggaris bawahi bahwa tafsir-tafsir jenis ini terlalu sering memakai riwayat-riwayat yang tidak berdasar atau dengan kata yang lain, riwayat palsu. Bahkan banyak sekali isra’illiyât atau kisah-kisah tak berdasar yang bercerita seputar penciptaan adam dan hawa, surga dan neraka, kisah-kisah peperangan, kepahlawanan dan sebagainya yang berasal dari periwayatan-periwayatan taurat ataupun yang lain yang sudah banyak sekali mengalami perubahan dan penyelewengan. Ada satu pendapat yang dikutip Jamal al-Banna, bahwa kecenderungan-kecenderungan itu muncul bermula dari kesulitannya sang mufassir dalam mencari periwayatan yang mempunyai nilai validitas tinggi,. Atau dengan bahasa singkat, minimnya periwayatan yang murni berasal dari Rasulullah itu sendiri.

Dr. Quraish Shihab dalam salah satu tulisannya di jurnal Paramadina menyebut secara rinci akan kelemahan metode penafsiran riwayat ini; “Di sisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode ini adalah: (a) Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan-pokok Al-Quran menjadi kabur dicelah uraian itu. (b) Seringkah konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya. Bahwa mereka mengandalkan bahasa, serta menguraikan ketelitiannya adalah wajar. Karena, di samping penguasaan dan rasa bahasa mereka masih baik, juga karena mereka ingin membuktikan kemukjizatan Al-Quran dari segi bahasanya. Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemukjizatan itu untuk masa kini, agaknya sangat sulit karena --jangankan kita di Indonesia ini-- orang-orang Arab sendiri sudah kehilangan kemampuan dan rasa bahasa itu.” Tafsir jenis ini banyak sekali, di mulai dari Tafsir Ibnu Abbas, At-Thabari, As-Suyuthi, Tafsir Ibnu Katsir dan lain sebagainya.

Tafsir bi al-Ra’yi; Upaya Menjawab Problematika Kehidupan

Problematika penafsiran al-Qur’an dengan metode riwayat hampir sebagian besar berangkat dari “ketidakajegan” para mufasir dalam menyampaikan maksud-maksud tersirat di balik teks-teks Ilahiyah. Dalam ranah metodologikal, para penafsir nalar mencoba menggunakan pelbagai macam perangkat tafsir yang disesuaikan dengan kecenderungan mereka masing-masing dalam disiplin ilmu tertentu untuk berusaha menjawab segala problematika kehidupan dan kegelisahan intelektual mereka akan stagnasinya kajian tafsir bi al-ma’tsur. Di antara mereka ada yang memusatkan analisis tafsir atas al-Qur’an melalui metodologi spesifik disiplin keilmuan, seperti gramatika (an-Nahwu), al-Balâghah, I’jâz, fiqh, filsafat dan cabang disiplin keilmuan lainnya. Sebagai contoh kitab al-Kasysyâf racikan az-Zamakhsyari al-Khawarizmi yang menyusun bangunan tafsirnya di atas epistema ilmu balaghâh, Fakhruddin al-Razi mampu menelurkan tafsîr Mafâtihu al-Ghâib yang diciptakan atas dasar ilmu filsafat yang dikuasainya. Tafsîr al-Jâmi’ li ahkâmi al-Qur’ân berhasil digagas al-Qurthubi yang ditilik dari sudut pandang fikih dan hukum-hukum agama serta beberapa form tafsir lain yang dicoba dituangkan oleh segelintir intelektual muslim lainnya.

Corak dan pola tafsir ala nalar ini banyak sekali disebutkan dalam semua karya kodifikasi ilmu-ilmu Qur’an dan tafsir. Bertolak dari ini, penulis secara pribadi mengikuti pendapat al-Farmawi bahwa corak ini terbagi menjadi empat pendekatan metodologi, yaitu tahliliy, ijmaliy, muqaran dan mawdhu'iy.

Yang paling popular dan sering menjadi metode landasan para ahli tafsir sekarang adalah dua metode saja; pertama, metode tahlîly. Adalah satu diantara beberapa metode dimana mufassirnya berusaha menjelaskan makna dan substansi ayat demi ayat, surat demi surat sesuai dengan urutan ayat dan surat di dalam mushaf. Kebanyakan mufassir dalam ranah metode ini lebih cenderung menggunakan keahlian masing-masing dalam berbagai disiplin ilmu. Pandangan ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Mahmud Syaltut bahwa perbedaan penafsiran al-Qur’an bergantung pada ragam keberbedaan latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki para mufassir itu sendiri.

Dalam buku Tafsîr al-Qur’ân al- Karîm baina al-Quddâmi wa al-Muhadditsîn, Jamal al-Banna menjelaskan secara detail satu persatu tafsir ala nalar yang dikarang oleh para intelektual muslim yang hidup pada abad 20. Sebut saja Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dengan al-Manârnya, Thahir bin ‘Asyur dengan at-Tahrir wa at-Tanwîrnya, ataupun Syeikh Mutawalli al-Sya’rawi dengan tafsir al-Sya’rawinya. Terhadap al-Manar, Jamal memberikan komentar bahwa tafsir ini memiliki nilai sosial budaya, bisa dibilang kalau kita merunut sejarah, bahwa Abduh diyakini pernah mengaji tafsir dengan sang guru Jamaluddin al-Afghani,.Satu hal yang dapat penulis pahami adalah kemungkina mengalirnya jiwa reforrmis dalam diri Abduh akibat pengajaran dan penanaman doktrin-doktrin akan pembaharuan umat serta ketegasan sang guru bahwa Islam pada dasarnya terbuka akan perubahan dan perkembangan zaman. Tafsir ini bermula dari tulisan-tulisan tafsir al-Qur’an Muhammad Abduh dalam jurnal yang diterbitkannya al-Manar, kemudian dialih bukukan dan diteruskan proyek besar ini oleh sang murid tercinta Rasyid Ridha. Disamping itu, Jamal juga memberi kritikan yang cukup panjang akan fenomena israillîyyat dalam tafsir al-Sya’rawi. Fenomena yang banyak sekali ditemukan dalam tafsir-tafsir riwayat karya ulama salaf. Satu hal yang dapat penulis pahami dan maklumi adalah proses pembuatan kitab itu sendiri tidaklah murni hasil tulisan sang syeikh, tetapi hasil copy paste dari setiap pengajian beliau Nûr ‘ala al-Nûr yang disiarkan ditelevisi dan radio hampir setiap hari. Dari situ kemudian muncul inisiatif untuk membukukan hasil pengajian beliau ini.

Kedua, metode maudû’î. Adalah metode di mana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Quran dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Keunggulan dari metode ini menurut hemat penulis adalah lebih pada nilai efisiensinya saja. Terkadang pembaca merasa malas kalau harus mengikuti ayat demi ayat untuk mencari sumber jawaban akan sebuah permasalah. Mungkin beranjak dari fenomena inilah metode mawdû’î cukup banyak dipakai oleh para mufassir dan ahli-ahli ilmu lainnya dalam menyebarkan dan mengamalkan tujuan diturunkannya al-Qur’an itu sendiri. Satu contoh, tafsir tentang ayat-ayat kauniyah oleh Dr. Yusuf Al-Najjar ataupun karya-karya intelektual muslim lainnya.

Hermeneutika; Sebuah Renungan Sejarah Singkat
Dewasa ini muncul berbagai disiplin ilmu dalam mengkaji kitab-kitab Tuhan. Diantaranya adalah hermeneutika. Al-Qur’an merupakan kitab terakhir yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Diharapkan dapat selalu up to date terhadap perubahan zaman dan selalu elastis terhadap keragaman budaya, hingga keberaadaannya dapat dirasakan sebagai dinamo penggerak kemajuan masyarakat. Lantas, apakah untuk memahami al-Qur’an membutuhkan hermeneutika? Inilah permasalahan yang akan disinggung sedikit oleh penulis dalam tulisan penutup ini.
Sebelum lebih jauh melangkah, alangkah baiknya jika kita menyatukan opini dan pemahaman kita terhadap hermeneutika. The new Encyclopedia Britannica menulis bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible. Adapun tujuan dari Hermeneutika itu sendiri adalah menemukan nilai kebenaran dalam Bible. Dalam sejarahnya Hermeneutika muncul pada abad petengahan dengan lahirnya seorang tokoh pemikir besar dalam bidang itu, yaitu Thomas Aquinas (1225-1274), karyanya yang menumental berjudul Summa Theologica menekankan pentingnya interpretasi Bible secara litertal.
Pada abad ke-18 tokoh pemikir liberal kristen Johan Solomo Semler mengemukakan gagasannya bahwa hermeneutika mencangkup banyak pembahasan seperti retorika, tata bahasa, logika, sejarah, penerjemahan dan kritik terhadap teks. Menurutnya tugas utama hermeneutika adalah memahami teks sebagaimana dimaksudkan oleh para penulis teks itu sendiri, sehingga pemahaman seiring dan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh para penulis teks.
Jadi pada awalnya hermeneutika dipakai untuk menemukan nilai-nilai kebenaran dalam perjanjian lama (old testament) atau pun perjanjian baru (new testament). Mengapa para Teolog dan agamawan kristen memerlukan hermeneutika dalam mengkaji kitab-kitab mereka? Karena mereka menemukan big problem dalam memahami dan menginterpretasikan serta mencari kebenaran sejati dalam kitab suci mereka. Selama ini masih mucul pertanyaan besar dan belum bisa dijawab dengan pasti. Yaitu, apakah secara harfiah Bible adalah kalam Tuhan, atau perkataan manusia? Aliran yang mengakui bahwa Bible itu adalah kalam Tuhan dan tidak ada unsur perkataan manusia, dianggap terlalu ekstrim, dan bahkan tidak rasional. Banyak kalangan agamawan yang masih menganggap Bible sebagai kitab yang masih dipertanyakan penciptanya. Seperti Richard Elliot Friedman dalam bukunya “Who wrote the Bible” menyatakan bahwa hingga kini, siapa yang menulis kitab tersebut masih merupakan misteri yang belum terungkap dengan pasti.
Karena Bible memiliki banyak penulis, dan itupun belum pasti kebenarannya. Bahkan terjadi banyak perbedaan dalam tulisan-tulisan itu, serta tidak ada redaksi Bibel yang diakui original, maka menemukan titik temu “kebenaran” dalam Bibel sangat sulit. Prof M. Metzger dalam bukunya “A Textual Commentary on the Greek New Testament” menyatakan bahwa para penafsir bible menemukan beberapa permasalahan dalam menginterpretasikan Bible diantaranya yaitu; Pertama, tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini. Kedua, bahan yang ada bermacam-macam dan berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Tentunya kondisi tersebut mempersulit kaum intelektual agamawan dalam menelaah Bible dan menemukan nilai kebenaran murni. Nah, dari semua problem tersebut, maka hermeneutika diperlukan untuk “mencari” celah dalam memahami Bible yang telah menjalani lika-liku dan gesekan paradigma kehidupan selama berabad-abad dengan harapan, dapat mengungkap nilai kebenaran murni dari kitab suci itu.
Berbeda dengan Al-Qur’an, yang diakui dan terbukti sebagai karya tuhan yang tidak dimasuki oleh pendapat-pendapat manusia dalam redaksi aslinya. Perjalanan Al-Qur’an dalam sejarahnya, dari Jibril kepada Muhammad kemudian berlanjut kepada para sahabat, Tabiin hingga sampai di tengah-tengah kita, telah tertulis dengan jelas dalam buku-buku Ulum Al-Qur’an karya para ulama turast, tidak ada “korupsi” redaksi yang terjadi. Jelas dalam point ini terdapat perbedaan signifikan antara Al-Qur’an dan Bible. Al-Qur’an yang menyandang gelar sebagai kitab suci dan sekaligus mukjizat terbesar Rasul ini, mengandung makna yang luas dalam setiap ayatnya. Bahkan jika mengkajinya hingga tujuh keturunanpun, kita masih belum bisa menyingkapkan seluruh true value yang dapat dijadikan sumber kesejahteran manusia. Kalau boleh meminjam istilah Cak Nur, bersifat open ended, artinya selalu terbuka dalam menginterpretasikannya sehingga tidak lapuk dimakan usia dan selalu compatible dalam setiap zaman.
Nah, untuk membumikan ayat-ayat Tuhan yang terangkum dalam kitab suci Al-Qur’an tersebut, tidak diperlukan lagi apa yang disebut hermeneutika. Karena penggunaan hermeneutika kepada Al-Qur’an merupakan penempatan dan penggunaan yang salah. Tafsir dan Ta’wil adalah sarana tepat yang dapat dijadikan “jembatan” dalam merangkai pemahaman yang benar terhadap Al-Qur’an.
Penutup

Satu hal yang perlu digaris bawahi disini adalah begitu luasnya kajian pemikiran ataupun studi-studi tentang al- Qur’an membuat kekaguman penulis akan keagungan dan keluasaan samudra ilmu al-Qur’an itu sendiri. Hal yang amat jarang ditemukan -untuk sekedar malas menyebut tidak ada- pada kitab suci umat yang lain. Penulis meyakini bahwa sampai kapan pun kajian-kajian al-Qur’an akan terus hidup dan memunculkan para intelektual-intelektual muslim baru baik kontoversial secara pemikiran maupun tidak yang akan selalu dan semakin membuktikan keajaiban al-Qur’an. Penulis sengaja tidak menyinggung sedikit pun pemikiran-pemikiran akan studi al-Qur’an kontemporer semacam Arkoun, Nasr Hamid, Amin al-Khouli, Muhammad Syahrur, dan sederet pemikir Islam lainnya karena penulis berharap akan ada diskusi-diskusi lanjutan mengenai kajian para pemikir liberal ini, dan semata-mata karena keterbatasan penulis sendiri dalam memahami teks-teks asli karya mereka. ‘ala kulli hâl selamat berdiskusi !



DAFTAR PUSTAKA


1. Al-Quran dan Terjemahannya, Mujamma’ Mâlik Fahd, Madinah, 2005
2. Jamal al-Banna, Tafsir al-Qur’an al-Karîm baina al-Quddamî wa al-Muhadditsîn, Dar al-Fikr al-Islamy, Kairo, 2003
3. al-Dzahabî, Muhammad Hussein, al-Tafsir wa al-Mufassirûn, Kairo, Dar al-Hadist, 2005
4. al-‘Ak, Kholid Abdurrahman, Ushûl al-Tafsir wa Qawaiduhû, Beirut, Dar al-Nafâis, 2003
5. Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, Tafsir al-Manâr, Beirut, Dar al-Fikr, tanpa tahun
6. Al-Thabarî, Ibn al-Jarîr, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil Âyi al-Qur’an, Beirut, Dar al-Fikr, 2001
7. Abu Su’ud Badr, Abdullah Dr., Tafsir al-Shahabat, Kairo, Dar Ibn Hazm, 2000
8. Zuhdi Muhdor Ahmad, Attabik Ali, Kamus al-Ashry, Yogyakarta, Yayasan Ali Maksum, 2004
9. Abu Syahibah, Muhammad bin Muhammad Dr., al-Isrâilliyât wa al-Maudû’ât Kutub al-Tafsîr, Kairo, Maktabah al-Sunnah, 2006
10. Al-Zarkasyi Muhammad bin Abdullah, Badruddin, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’an, Kairo, Maktabah Dar al-Turast, tanpa tahun
11. Kholifah Muhammad, Ibrahim Abdurrahman Dr, Dirâsât fî Manâhij al-Mufassirîn, tanpa penerbit dan tahun
12. Rasyid Ridha, Muahammad, al-Wahyu al-Muhammadî, Kairo, Majlis al-A’la Li al- Syu’un al-Islâmiyyah, 2004

-/+ selengkapnya

Menelan satu demi satu bayangmu



Kesedihan takkan pernah meninggalkan kebahagian berjalan sendirian dalam
kehidupan
Entah kenapa ketika rasa sedih itu mulai tampak seperti mendung pekat
yang berjalan terseok-seok seperti kegelapan yang tak tersinari beribu tahun lamanya
Mentari yang sedari tadi tersenyum manis
tersedak dengan sangat, Mati !
Kau tahu saat malam-malam penuh dengan peluh, kesah serta resah,
Aku hampir saja mati tersungkur !
Menelan satu demi satu bayangmu
Sampai sekarang pun aku masih tidak mengerti
Ketenangan yang katanya ingin kau berikan
Kepastian yang katanya ingin kau tanamkan
Ketegasan yang katanya ingin kau ucapkan
Semu, ….
Yang ada hanya keegoisan yang kau lemparkan
Kesesakan yang kau sampaikan
Kebungkaman yang kau ceritakan
Sesak
Begitu sesak

-/+ selengkapnya

Sang Penjaga Surga




Kenapa rasa sayang itu seringkali dicurigai
Bukankah berkali-kali terdengar kalau dusta bercinta....

Kenapa kejujuran dianggap kelewatan
padahal berkali-kali kebohongan menjadi penjaga surga

Kenapa juga dengan perhatian
Dianggap sampah dari hakikat serapah
Bukankah awan sudah bosan mendengar rayuan mendung kepalsuan

Rasa, asa, juga jiwa
Bagiku itu cinta....

-/+ selengkapnya


Web This Blog
www.flickr.com
bang_arbi's photos More of bang_arbi's photos


© 2007 Akang Jabrik | Template by Blogger Templates.

Blog ini dilindungi oleh hak cipta dan privasi namun diperbolehkan kepada siapa pun untuk membaca dan mengcopy